Manusia Merdeka seperti Si Bung Kecil
Telah diposting May 12, 2011 at 12:31pm
Sering kita terlalu naif. Sebuah penyakit manusia sejak jaman purbakala. Menghamba pada kuasa sambil menggadaikan akal sehat dan etika. Memaksa naif meskipun menabrak logika. Naif pula karena mengerdilkan takdir Ilahiah manusia sebagai citra penciptanya. Hingga tadi pagi kita masih sarapan yang sama: cerita kenaifan manusia yang membelenggu, dus tak merdeka, tersajii koran hingga layar kaca.
Naif di seluruh horizon. Naif saat kita makin besar, kita memperdaya yang kecil. Naif saat kita masih kecil, kita berharap menjadi pembesar dengan harapan kelak bisa menjajah mereka yang kecil.
Naif saat kita lupa, setelah membebaskan diri kita sendiri, kita tertidur sendiri oleh karena nikmatnya madu kuasa yang melambung tinggi. Lupa membebaskan dan memberi kebebasan pada mereka yang tergantung hegemoni pengaruh kita. Terobsesi pada suatu power-driven yang eksesnya memperpanjang perbudakan.
Kuasa bisa jadi sebuah nama, bisa pula jabatan berwibawa. Kuasa mungkin berupa dollar amerika, mungkin juga pengetahuan setinggi batas angkasa. Kuasa sesuatu yang bersifat kursif, mengandung kekerasan inheren yang memasung kebebasan orang lain. Sebuah struktur yang membikin moralitas makin amburadul. Sebuah hirarki kelas yang mencoba mendudukkan moralitas agar sejajar kasta. Seolah kalau orang berkasta rendah maka moralnya defisit. Tentu, jadinya sebuah kenaifan luar biasa yang bahaya.
Turunannya adalah fasisme di bandul paling kanan, feodalisme di bandul paling kiri, dan di tengahnya ada bandul paraelit yang wajahnya demokratis bin bijaksana namun sesungguhnya setengah dewa setengah manusia. Bukan manusia dengan kesadaran libertarian, egalitarian dan fraternitian.
Eks Perdana Menteri Sjahrir adalah model manusia merdeka sekaligus pemerdeka. Ia pernah kecewa pada Nehru, tokoh besar itu, karena di balik kebesaran Nehru terbalut feodalisme yang baik Syahrir maupun Nehru sendiri tentang. Mereka berkawan, saling bantu, sama-sama pejuang besar.
Namun Syahrir tipikal manusia merdeka seutuhnya. Ia pemimpin pendidik yang berharap bangsanya bukan lagi sekumpulan underdog yang tunduk lemah pada superioritas topdog. Sjahrir simpatisan orang kalah, polisi moral politik di saat Sukarno menampakkan wajah sebagai seorang pemimpin massa berbakat fasis. Dengan tegak berani, ia mengkoreksi sang pencetus proklamasi.
Sjahrir penjaga kebebasan individu saat Tan Malaka membenarkan kekerasan dan gerakan radikal bersatu demi kemerdekaan yang juga Sjahrir citakan. Sjahrir pula penjaga Republik dari bahaya diktator proletariat yang jadi haluan politik kelompok kiri. Pendeknya, Sjarir adalah pemimpin jujur. Berani tak populer (karena tidak mengejar massa) namun menonjolkan hakikatnya sebagai seorang manusia super. Sjahrir tak lantas memusuhi politik. Ia memandang lebih luas. Katanya, meletakkan dasar moral bagi politik dan kebudayaan bisa dianggap sebagai politik dalam pengertian luas.
Itu mengapa kita selalu mengenang Sjahrir, mengapa si Bung Kecil selalu menjadi sebuah inspirasi mengoreksi kelaliman dan memperjuangkan kebebasan yang tertindas akibat kenaifan.
Untuk itu, Si Bung Kecil menyadarkan, "Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan", kutipnya dari puisi seorang pujangga Jerman F Schiller. Kita tak boleh naif karena moral menuntun kita pada tujuan. Bukan sebaliknya, tujuan yang memaksakan arah moralitas kita sebagai seorang manusia merdeka.