top of page

DAMPAK DEMONSTRATIF TEROR


Aksi teror terhadap Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto oleh Syahril Alamsyah, alias Abu Rara, dan istrinya di Pandeglang, Banten, mengejutkan. Sejak era terorisme yang disponsori Al Qaeda dan berlanjut dengan jejaring kelompok lokal di tanah air, untuk pertama kalinya seorang pejabat tinggi menjadi korban aksi teror. Sebelumnya, aksi teror pada masa Jemaah Islamiyah hampir selalu menarget warga sipil dan menarget personel keamanan secara terbatas. Serangan terhadap Menko Polhukam Wiranto menandai babak baru terorisme di Indonesia. Lalu, apa dampak strategis dari kasus teror terhadap Wiranto? Mengapa dampak demonstratif teror tersebut perlu diantisipasi?

Jika terorisme dimaknai sebagai pengggunaan kekerasan oleh organisasi di luar otoritas negara untuk menakut-nakuti atau mengintimidasi target khalayak tertentu, maka ada dua tujuan utama tindakan teror. Secara umum, teror bertujuan memaksakan agenda tertentu kepada target yang dianggap musuh dan bertujuan untuk mendapatkan pendukung dari tindakan teror yang dilakukan.

Robert A Pape, seorang profesor ilmu politik di Universitas Chicago sekaligus Direktur the Chicago Project on Suicide Terrorism, dalam bukunya "Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism" (2005) mengenalkan tiga bentuk terorisme yang merepresentasikan derajad pertukaran atau kombinasi antara dua tujuan utama aksi teror tersebut di atas. Ketiga bentuknya yakni terorisme demonstratif, terorisme destruktif dan terorisme bunuh diri.

Terorisme demonstratif menempatkan penggunaan kekerasan ke dalam medan politik. Tujuan utamanya mendapatkan publisitas baik untuk kepentingan pribadi, kelompok, maupun kompetisi dalam peta jaringan teror global. Terorisme desktruktif berupaya menciptakan kerusakan maksimal kepada target khalayak yang spesifik, misalnya target orang asing atau bangunan milik asing. Terorisme bunuh diri memilih target khalayak yang lebih luas dengan metode serangan tertentu dengan kompensasi nyawa pelakunya. Lebih agresif dan mematikan, target korban tak hanya obyek spesifik yang dimusuhi namun juga obyek netral, misalnya warga biasa yang tidak terkait dengan gerakan atau bukan musuh alami.

Ditilik dari bentuknya, penyerangan terhadap Menko Polhukam Wiranto kental dimensi demonstratifnya. Serangan Abu Rara memenuhi aspek tertinggi kampanye politik dari sebuah aksi teror. Target utamanya bukan individu bernama Wiranto, melainkan jabatan publik yang melekat padanya sebagai Menko Polhukam. Jabatan yang disandang Wiranto merepresentasikan kepentingan negara dalam sektor keamanan yang selama ini diperangi oleh jaringan teror karena dianggap sebagai thogut.

Dari pemeriksaan polisi, Abu Rara diketahui belum mengenal siapa yang akan diserangnya saat kejadian berlangsung. Namun, ia dengan sadar sudah merencanakan penyerangan terhadap pejabat negara sebelumnya. Target utama pejabat tinggi menunjukkan Abu Rara dan kelompoknya berupaya memperoleh publisitas seluas mungkin. Menurut polisi, Abu Rara dan istrinya memutuskan melakukan serangan sebagai reaksi atas penangkapan Abu Zee, guru dan pimpinannya di kelompok Jemaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi. Jika benar demikian, motif turunan dari Abu Rara pun bisa beragam.

Selain sebagai bentuk tekanan terhadap pihak ketiga di luar kelompok dan di luar otoritas negara, tindakan Abu Rara memiliki daya simbolik untuk menarik perhatian dari sesama aktivis jaringan teror agar melipatgandakan perlawanan sekaligus menarik segmen pemaham ajaran radikal yang masih pasif agar aktif dalam gerakan kekerasan. Bahkan, sekalipun dalam penyerangan itu Wiranto gagal dibunuh, Abu Rara telah mendapatkan keuntungan strategis baik pribadi maupun untuk kelompoknya dari peristiwa itu. Lewat pemberitaan masif hingga mancanegara, tersiar kabar bahwa seorang simpatisan atau anggota biasa dalam jaringan JAD lokal tenyata mampu mengglorifikasi perlawanan dan menempatkannya di atas panggung terorisme global.

Dalam rentang 20 tahun terakhir, terdapat transformasi cukup mendasar dalam gerakan teror. Secara garis besar, organisasi kelompok teror mengecil ke dalam bentuk sel-sel mandiri dengan kekuatan senjata yang terbatas sebagai akibat dari operasi penangkapan dan kontraterorisme oleh aparat keamanan yang ketat. Alhasil, pascabom Kedubes Australia tahun 2005, kita tidak lagi menemui adanya serangan teror berskala besar menggunakan bom berdaya ledak tinggi dengan jumlah korban besar.

Transformasi ini tampak nyata dalam serangan Abu Rara terhadap Wiranto di Menes, Pandeglang. Meski berdimensi demonstratif, hanya menggunakan senjata yang kurang memberikan efek fatal dan tidak sampai menimbulkan korban jiwa, dampak lanjutannya tak bisa dikesampingkan.

Teror demonstratif oleh Abu Rara berpotensi membangunkan aksi-aksi amaliyah lainnya, mengaktifkan kembali jaringan kelompok teror, serta menaikkan target teror mereka lebih tinggi. Tidak hanya itu, aksi Abu Rara meningkatkan kesadaran kelompok teror bahwa mereka mampu mendongkrak status kelompok lokal dan kecil ke dalam lanskap terorisme regional bahkan global.

Pengaruh dari terorisme demonstratif Abu Rara tak bisa dipisahkan dari tiga logika yang mendasari lahirnya terorisme. Meminjam rumusan terorisme bunuh diri dari Robert A Pape (Dying to Win, 2005), setiap pelaku teror selalu memiliki pertimbangan logis saat merencanakan tindakannya.

Pertama, pelaku teror memiliki logika individu sebagai motif awal tindakannya. Abu Rara dan istrinya jelas sudah mempersiapkan aksi amaliyah sebelumnya. Ia sudah merencanakan dan berlatih menggunakan senjata yang ia pakai untuk menusuk Wiranto. Kapan aksi amaliyah ia lakukan tergantung pemicunya. Menurut polisi, Abu Rara menyerang Wiranto karena kesal guru dan pimpinan Jamaah Ansharut Daulah Bekasi, Abu Zee, ditangkap. Sebelumnya, pengalaman Abu Rara berurusan dengan hukum dan sebagai korban penggusuran pembangunan jalan tol di Medan bisa menjadi pintu masuk awal ketidakpuasan, bahkan kebencian individu, terhadap negara.

Yang kedua, logika sosial terorisme. Serangan teror oleh Abu Rara tidak berdiri sendiri. Ia menyerang Wiranto tentu bukan karena alasan altruistik semata. Di luar alasan pribadi, Abu Rara berada dalam kelompok yang memiliki pandangan tertentu. Tindakannya menyerang pejabat sesuai dengan misi dan ajaran yang dianut kelompok. Sebelum menyerang Wiranto, ia tentu yakin tindakannya akan diterima oleh kelompok teror di mana ia bernaung. Jika dibalik, Abu Rara tidak akan menyerang pejabat kalau perbuatannya ditolak oleh kelompoknya.

Ketiga, logika strategis menggenapi dua logika pertama untuk mewujud menjadi serangan teror yang nyata. Serangan terhadap Wiranto mengangkat kembali dimensi politik terorisme lokal ke level global. Tak cuma menaikkan status sosial Abu Rara dalam kelompoknya, aksinya juga mengangkat pamor JAD, terlebih JAD Bekasi, di antara kelompok teror di tanah air yang terbelah. Dampaknya, dukungan dana dan rekrutmen yang penting bagi gerakan akan lebih mudah diperoleh di dalam negeri. Titik sorot kepada Abu Rara dan kelompoknya dalam panggung terorisme global juga menjanjikan kemudahan akses pendanaan maupun pelatihan dari luar negeri. Atau, setidaknya meningkatkan minat organisasi teror regional maupun global untuk mendanai kelompok-kelompok teror di Indonesia.

Serangan teror yang menimpa Menko Polhukam Wiranto tidak boleh dianggap remeh. Dimensi demonstratif yang dipertontonkan Abu Rara berpotensi menjadi pintu masuk bangkitnya terorisme destruktif, bahkan terorisme bunuh diri yang fatalistik seperti yang terjadi pada masa lalu. Kampanye antiterorisme tak akan cukup efektif jika hanya dijalankan secara terkoordinasi oleh lembaga-lembaga yang kewenangannya tercerai-berai. Kampanye antiteror memerlukan penanganan holistik dengan tujuan memutus tiga logika yang menjadi faktor utama terorisme. Memutus akses sumber daya dari jaringan teror global dan memperlemah organsisasi kelompok teror perlu dibarengi dengan upaya deradikalisasi progresif terhadap subyek individu. Tidak bisa tidak, unsur penindakan harus seirama dengan unsur pencegahan maupun pemulihan.

Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page