Joker dan Politik Chaos
Film Joker ramai-ramai dibicarakan. Joker disoroti dengan rasa khawatir penonton
akan tertular penyakit mentalnya. Kewaspadaan psikopatik muncul karena Joker
bukan sekedar tokoh antagonis biasa, tapi pikiran dan kekacauan yang ia timbulkan dianggap bisa diimitasi oleh mereka yang menontonnya. Dari komentar penonton,
tak sedikit yang menaruh iba dan memaklumi situasi sulit yang membentuk Arthur
Fleck, sosok Joker muda yang tumbuh dalam keterasingan.
Sisi psikopatologi Joker berikut dampak pada orang yang menontonnya adalah satu hal. Ada sisi lain dari Joker yang menarik untuk dicermati. Ada kesamaan yang
menarik untuk diperbandingkan antara Arthur Fleck dalam transformasinya menjadi
Joker dan tokoh V dalam film V for Vendetta (2015). Baik Joker maupun V sama-
sama merupakan vigilante yang sebangun dalam ruang politiknya namun berbeda
dalam tujuannya. Sebagai seorang vigilante, kedua tokoh ini menegakkan aturan
dengan caranya sendiri untuk mengoreksi tatanan yang dalam pandangannya salah.
Baik Arthur Fleck maupun V menemukan ada struktur sosial-politik dalam
masyarakat yang menindas warga kebanyakan dan di kutub yang berlawanan ada
segelintir elit penguasa yang lalim. V merasa menjadi korban eksperimentasi senjata biologis yang dipakai untuk melanggengkan kekuasaan penguasa fasis Adam Sutler di United Kingdom. Sementara Arthur Fleck hidup dalam derita fisik dan mental,
terlebih setelah pemerintah kota Gotham menghentikan program jaminan sosial
karena alasan efisiensi. Salah satu akibatnya dirasakan Arthur: pemberian obat-obatan yang ia butuhkan untuk menyembuhkan penyakitnya terhenti.
Problem struktural yang dihadapi Arthur makin membuatnya frustasi dan terasing
setelah ia menemukan Thomas Wayne, pengusaha di mana dulu ibu angkatnya
bekerja, sebagai sosok yang ia anggap paling bertanggung jawab atas penderitaan
keluarganya. Pribadi Arthur Fleck makin terluka akibat kehilangan sosok ayah dan
tidak memiliki asal-usul yang jelas sebagaimana layaknya kaum elit yang terhormat. Antipati terhadap Thomas Wayne makin memuncak menyusul pencalonan yang disebut terakhir sebagai Wali Kota Gotham.
Alienasi yang dialami Arthur maupun V melahirkan perlawanan. Bagi Arthur, struktur sosial ekonomi yang ada tidak memihaknya. Alih-alih, ia merasa semua orang
memusuhi dan mengekspolitasinya. Saat itulah, tragedi ia balikkan menjadi komedi. Joker merayakan tragedi dengan komedi psikopatiknya.
Tak lama setelah ia membunuh tiga perundungnya di sebuah stasiun kereta bawah
tanah, Arthur memperoleh gambaran bahwa masyarakat terbelah dalam dua kelas, yakni warga tertindas dan segelintir elit yang diuntungkan oleh status quo. Dalam film Joker, kesadaran kelas sebagai senasib sependeritaan tergambar dalam simbol warga yang turun ke jalan memakai topeng badut. Kesadaran serupa juga dibangun oleh tokoh V dalam film V for Vendetta dengan cara membagikan ribuan topeng Guy Fawkes sebagai simbol perlawanan kelas untuk menumbangkan pemerintah fasis.
Lalu, apakah Joker dan V serta kisruh politik yang mereka ledakkan seutuhnya bisa disamakan? Tidak juga. Di titik ini, Joker dan V berbeda sikap dan pandangan politik meskipun nihilisme menyeruak dalam plot cerita keduanya. Joker melihat tatanan mandheg tanpa harapan perubahan sehingga ia tiba pada kesimpulan bahwa kekacauan merupakan satu-satunya solusi. Sedangkan V melihat anarki sebagai solusi politik untuk menumbangkan pemerintah fasis dan menggantinya dengan lembaga parlemen yang menuruti kehendak publik.
Kekacauan publik yang diinisiasi Joker menimbulkan situasi anomie, yaitu sebuah situasi di mana norma sosial dan aturan tidak lagi hadir untuk memberi panduan moral kepada warga. Berbeda dengan Joker, V menggalang anarki sebagai cara untuk menantang otoritas. Kekacauan situasi merupakan bentuk sekaligus akibat dari ketidakpercayaan dan penolakan pengakuan terhadap otoritas. Bagi V, lembaga politik ditumbangkan agar otoritas bisa dikoreksi dan penguasanya diganti. Sementara bagi Joker, lembaga politik hendak ia runtuhkan dan otoritasnya ia hapus. Di sini terbentang jalan pikiran Joker tentang bagaimana seorang psikopat purna dalam mewujudkan nihilisme secara total.
Dalam konteks anomie, sakit mental yang diidap Joker mencapai kulminasi saat ia menemukan apologi atas tragedi hidupnya, juga terhadap orang-orang yang ia anggap senasib. "I just hope my death makes more sense than my life", tulisnya dalam buku diarinya. Saat itu, tragedi berubah menjadi komedi bagi Joker. Ia bukan lagi sosok Arthur Fleck yang tertindas, yang lemah. Ia menemukan pembebasan dan melihat dirinya sendiri sebagai sang pembebas warga tertindas dari alienasi sosial. Joker mengeksplotasi kesadaran kelas dengan ia berada di pusat episentrumnya. Dalam relasi aksi-struktur, Arthur bukan lagi obyek penindasan, ia telah memilih sebagai penggalang aksi untuk mengubah tatanan sosial politik yang mengatur kehidupan Kota Gotham.
Tokoh Joker tentu saja hanya fiksi. Namun dalam konteks yang nyata, penyakit mental seperti yang diderita Joker bisa jadi juga bersemayam di tengah masyarakat modern. Wujudnya tampak dari kemunculan tokoh individu maupun frustasi publik yang bersepakat bahwa sistem yang ada tidak lagi bisa dijadikan acuan. Situasi nihilis yang dijahit dalam jalan mesianik mudah melenakan orang untuk jatuh pada situasi anomie. Ketidakpercayaan terhadap politik sebagai cara mencapai konsensus mendorong mereka yang fanatik untuk tidak lagi hanya percaya pada isi namun juga tidak percaya dengan wadah. Frustasi sosial akibat alienasi total, termasuk absennya peran negara, bisa dengan mudah meledak jika perubahan gradual tak kunjung diadopsi. Semoga, kekacauan psikopatik Joker cuma terjadi di film. Bukan dalam kehidupan nyata.