Simulakra dan Kegilaan terhadap Teror
Telah diposting September 11, 2010 at 3:20pm
Ini adalah artikel opini pribadi yang belum sempat dipublikasikan.
Ditujukan dalam konteks demam liputan eksklusif tentang terorisme beberapa waktu lalu.
Teror mendadak menghujam ke seluruh sudut kehidupan. Teror hadir lengkap dengan segala partiturnya menembus urat syaraf melalui bantuan liputan media. Sejak itu perang melawan teror tak cuma ada di televisi. Merujuk pada filsuf Perancis Jean Baudrillard, ia hadir dalam diri masyarakat dalam bentuk simulakra, yakni sebuah citra tanpa referensi. Simulakra bukanlah citra atau realitas sesungguhnya. Baudrillard menyebut simulakra hadir dengan cara menyembunyikan, menyimpangkan atau mengkudeta realitas itu sendiri.
Maka sejak bom Mega Kuningan serta penggerebekan rumah persembunyian jaringan teroris di Temanggung dan Bekasi terus menerus dieksploitasi sebagai komoditas, hadirlah kebangkrutan realitas. Lewat media, pemirsa tenggelam dalam bayangan simulakrumnya sendiri. Melalui televisi, antara yang riil, fantasi, ilusi maupun halusinasi bercampur aduk jadi satu.
Tak mengherankan belakangan ini fenomena buru Noordin M Top marak di tengah masyarakat. Noordin M Top yang katanya cerdas itu disepelekan menjadi target tangkap bebek dan lele di arena tujuh belasan. Di lain tempat, gembong teroris itu juga dipajang fotonya untuk diperebutkan dalam lomba panjat pinang. Dandanan ala tim Densus 88 dan kelompok teroris dalam sejumlah karnaval juga menunjukkan fantasi akan teror nyata hadir di tengah masyarakat.
Penggerebekan kelompok teroris (sebelumnya diyakini ada Noordin M Top) di Temanggung tempo hari tanpa kecuali juga meneror saya. Penggerebekannya yang terbilang spektakuler, disiarkan secara langsung selama belasan jam di televisi, sampai-sampai memaksa saya membatalkan agenda menonton sebuah pertunjukan musik akbar di Ancol. Gila!
Kegilaan terhadap teror yang dipertunjukkan di layar kaca tak ubahnya sebuah tontonan filmthriller. Bertubi-tubi horor, kegemasan sekaligus kecemasan berkelindan turun naik mengisi degup jantung pemirsa. Lantas mengapa kegilaan terhadap teror dijual seperti kacang goreng di media massa?
Euforia terhadap teror dan eksklusivitas adalah segelintir penyebab media bersikap demikian. Media massa terjebak dalam euforia teror sambil memacak diri sebagai yang paling eksklusif dan paling aktual. Eksklusif dibanderol demi diferensiasi produk berita walaupun sebetulnya pemirsa dibombardir dengan setumpuk repetisi, ratusan jam tayangan ulang dan analisa yang kalau bisa baru.
Kelatahan media dalam meliput teror terus berlanjut sejak sikap kritis, prinsip verifikasi dan liputan berimbang dikalahkan. Maka tak perlu heran, saat masih dalam pengepungan di Temanggung, banyak media sudah berani menyebut Noordin M Top telah tertangkap dan tewas, padahal sama sekali belum ada pernyataan resmi dari kepolisian.
Perayaan atas teror tak cuma terjadi di Indonesia. Tanpa mengecilkan peristiwa dan jumlah korban, serangan teroris terhadap menara kembar WTC di Amerika Serikat tahun 2001 juga teramplifikasi secara dahsyat karena liputan media yang berlebihan.
Laporan berita media massa Amerika kala itu berperan dalam memperbesar magnitudo Tragedi 11 September ke titik di mana nyaris tidak ada seorang Amerika pun menolak kampanye perang melawan teror at all cost. Maka dalam hitungan pekan setelah serangan 11 September kita menyaksikan sebuah mobilisasi perang paling cepat dalam sejarah Amerika Serikat, yakni invasi ke Afghanistan untuk mengejar jaringan Al Qaeda dan pelindungnya, Taliban.
Peristiwa 11 September memberi kita pelajaran bagaimana media telah meninggalkan peran idealnya. Media justru menjadi agen Pemerintahan Bush untuk mendisiplinkan sikap publik AS terhadap kampanye perang melawan teror, nyaris tanpa secuilpun sikap kritis.
Teror memang harus diperangi, namun sejatinya tak perlu berakhir sebagai sebuah perayaan semu. Media harus memegang teguh prinsip cek-ricek dan liputan berimbang agar tidak dituduh menebar teror ke pemirsanya.
Kedua prinsip itu sangat mendasar untuk ditegakkan karena teror sesungguhnya anonim. Sebenarnya kita tidak pernah benar-benar tahu siapa pelaku dan kapan bom akan diledakkan. Teroris juga bukan entitas politik yang bisa diprediksi dan diajak bernegosiasi.