Timur Tengah Terpasung Dilema Tahanan
Telah diposting September 13, 2010 at 9:21am
Ini adalah artikel opini pribadi yang belum sempat dipublikasikan.
Ditulis pada September 2009 di saat militer Israel menggempur wilayah Palestina secara masif.
Didedikasikan untuk perdamaian yang tak kunjung datang di episentrum peradaban tiga agama besar dunia.
Spiral kekerasan kembali bergolak di Palestina. Dengan dalih menghancurkan kekuatan Hamas, 27 Desember lalu militer Israel menggelar serangan darat dan udara di wilayah Jalur Gaza. Perang asimetris ini balik dibalas Hamas dengan serangan roket.
Eskalasi konflik nyata di depan mata. Korbannya meluas ke warga sipil dan obyek yang tak ada hubungannya dengan Hamas. Hingga hari ke-20 serangan Israel atas Gaza, lebih dari 1000 orang warga Palestina tewas dan 5000 luka-luka.
Selama enam dekade, upaya perdamaian di Palestina selalu gagal dan berjalan stagnan. Kompleksitasnya menandai apa yang disebut oleh Edward Azar sebagai Protracted Social Conflict, yakni konflik berlarut-larut yang muncul dari tumpang tindih sejumlah faktor dan aktor hingga seolah tanpa ujung pangkal penyelesaian.
Ada sejumlah penyebab mengapa konflik Palestina berlarut-larut dan pada akhirnya memerangkap pihak yang bertikai ke dalam spiral kekerasan.Pertama, ada benturan politik antara konsep politik negara-bangsa warisan kolonial dengan ideologi Pan Arab dan Pan Islamiyah yang populer kemudian. Konsep satu negara untuk satu bangsa ternyata tidak mampu menampung masyarakat Arab yang berbasis klan. Akibat benturan ini, institusi politik di Palestina menjadi rapuh, terlebih setelah negara Israel berdiri.
Nasionalisme Arab selama 1950-an selain gagal memerdekakan Palestina, juga memandulkan proses perdamaian dan konsolidasi di antara kelompok perlawanan Palestina. Alhasil, bangsa Palestina pun terlambat menyiapkan bangunan politik yang cukup kuat untuk kemerdekaannya.
Kedua, politisasi isu agama juga menjadi faktor penting yang membuat eskalasi konflik Palestina selalu gagal diredam. Hingga detik ini banyak kelompok Yahudi fanatik meyakini visi Palestina sebagai Tanah yang Dijanjikan untuk bangsa Israel. Sebaliknya, perjuangan melawan Zionis juga kerap dianggap sebagai jihad oleh kelompok perlawanan radikal Palestina, terlebih di Yerusalem terdapat simbol suci Islam Masjidil Aqsa. Tumpang tindih antara persoalan politik dan agama ini kerap membuat upaya diplomatik kembali mentah.
Ketiga, mutual building measure di antara Israel dan Palestina terbilang rendah. Sikap saling tidak percaya dan skeptis terhadap perdamaian itu terbangun dari kesadaran akan adanya ancaman langsung dari luar.
Kondisi ini tercermin dari jajak pendapat yang dilakukan media Israel Haaretz 3 Januari lalu. Dari 472 responden warga Israel, sebanyak 52 persen setuju dengan serangan udara militer Israel ke Gaza dan 19 persen setuju dengan serangan lanjutan lewat darat. Sebaliknya, hanya ada 20 persen responden yang meminta Israel bernegosiasi dengan Hamas. Dukungan pro perang ini melesat ke angka 71 persen berbanding 21 persen pro gencatan senjata sepekan kemudian.
Keempat, kecenderungan radikalisasi baik dalam gerakan perlawanan Palestina maupun internal Israel turut menyumbang pada kebuntuan proses perdamaian yang sudah digagas sejak Deklarasi Madrid 1991.
Radikalisasi ini mulai kentara dengan kemunculan Hamas menjelang Intifada I dan II, menyusul anggapan rezim Fatah/PLO telah korup dan lembek terhadap Israel. Di pihak Israel, radikalisasi justru terbarui menjelang serangan ke Gaza. Di tengah ancaman popularitas yang terus merosot, pemerintahan koalisi Partai Kadima pimpinan Tzipi Livni dan Partai Buruh pimpinan Ehud Barak berupaya mendongkrak dukungan politik dari warga Yahudi pada pemilu 10 Februari mendatang dengan menggelar perang terhadap Hamas. Resolusi PBB dan seruan dunia sama sekali tak diindahkan baik oleh Israel maupun Hamas.
Kekerasan, kekerasan dan lagi-lagi kekerasan menemukan rasionalitasnya sendiri dalam konflik Israel-Hamas. Pihak-pihak yang bertikai terpasung dalam logika berpikir Dilema Tahanan, sebuah simulasi permainan yang digagas oleh Robert Axelrod.
Axelrod menggambarkan Dilema Tahanan sebagai sebuah permainan kalah-menang (zero-sum game) antara dua orang yang masing-masing bisa memilih bekerjasama atau memilih ingkar dengan resiko tertentu.
Pilihan pertama, kalau kedua pemain bekerjasama maka masing-masing pemain akan memperoleh hasil +5. Pilihan kedua, kalau pemain A memilih ingkar sedangkan pemain B memilih kerjasama, maka pemain A akan memperoleh hasil maksimal +10 dan sebaliknya pemain B mendapat hasil terburuk -10.
Pilihan ketiga adalah kebalikan pilihan kedua. Kalau pemain B memilih ingkar sedangkan A memilih kerjasama maka pemain B akan memperoleh +10 dan, sebaliknya, A mendapat -10 . Masih ada pilihan keempat, yakni kalau semua pemain memilih ingkar, keduanya hanya akan memperoleh hasil 0.
Logika Dilema Tahanan membelenggu langkah Israel dan Hamas untuk serius berdamai. Logika Dilema Tahanan memasung pihak-pihak yang bersengketa untuk memaksimalisasi tujuan masing-masing sekalipun dengan mengesampingkan tujuan pihak lain. Perdamaian di tanah Palestina pun lantas mudah tergadaikan.
Siapa pemenang sesungguhnya dari politik ultranasionalis Tel Aviv terlihat jelas dari jajak pendapat Jerusalem Post 15 Januari lalu. Pemerintahan Partai Kadima dan Buruh mampu menahan laju popularitas Partai Likud meskipun baru saja diguncang skandal korupsi yang menyeret PM Ehud Olmert.Dukungan untuk Partai Likud terus merosot dari 31 menjadi menjadi 28 kursi selama pekan pertama perang, sedangkan koalisi Kadima dan Buruh tetap stabil dengan dukungan sekitar 27 dan 15 kursi.
Hamas pun juga “diuntungkan” dari situasi Dilema Tahanan ini. Dengan serangan sepihak Israel ini kini banyak warga Palestina dan dunia yang bersimpati pada kelompok ini. Secara politik, Hamas kini jauh lebih populer daripada pemerintahan Fatah di Tepi Barat.
Spiral kekerasan tak pernah mengenal benar atau salah. Sebagai bentuk politik dengan cara lain, kekerasan hanya akan memenangkan segelintir orang. Sebaliknya, kekerasan hanya akan meminta korban warga sipil tak berdosa.
Tanah untuk Perdamaian
Untuk mewujudkan perdamaian hakiki, peneliti perdamaian Hugh Miall, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse menekankan pentingnya pembedaan antara posisi pihak-pihak yang bertikai dan kepentingan mereka masing-masing.
Dalam upaya resolusi konflik, kepentingan akan lebih mudah direkonsiliasikan daripada posisi. Menurut mereka, kepentingan teridentifikasi jelas dalam apa yang disebut sebagaibasic human needs. Di titik ini, konsep Tanah untuk Perdamaian yang mulai digagas sejak Deklarasi Oslo 1993 menjadi instrumen vital untuk mendamaikan konflik kepentingan Israel-Palestina.
Tanah untuk Perdamaian menyiratkan saling pengakuan antar kedua belah pihak. Prinsipnya, Israel akan mengakui Palestina sebagai sebuah negara berdaulat. Sebaliknya, Palestina dengan legowo mau mengakui eksistensi negara Israel.
Konsep Tanah untuk Perdamaian selama ini tidak efektif menghasilkan perdamaian karena tidak pernah menyentuh pemenuhan kebutuhan dasar warga Palestina seperti solusi atas nasib pengungsi Palestina, permukiman Yahudi dan status Yerusalem.
Jakarta, 8 September 2009