top of page

Tragedi Ariel

Diposting July 3, 2010 at 10:37am

Nazril Irham NOAH Wallpaper by romidzakizaidi.jpg

Dulu dipuja-puji, kini dicaci maki. Itulah nasib yang dialami Nazriel Irham alias Ariel, vokalis band Peterpan. Setelah video porno dengan pelaku mirip dirinya, Luna Maya dan Cut Tari tersebar luas, nama Ariel terus-menerus diperbincangkan. Videonya ramai dicari orang, bahkan sampai diperjualbelikan. Kasus video panas itu menuai sejuta tanggapan. Tak urung Menkominfo, Meneg Pemberdayaan Perempuan dan lembaga swadaya masyarakat ikut angkat bicara. Sebagian mencerca, sebagian yang lain menganggap mereka hanya korban, sedangkan sisanya apatis karena menganggap urusan privat tidak sepatutnya dikonsumsi publik. Kasus Ariel membuat publik dihadapkan pada sebuah ketidakpastian hukum. Sebelum resmi ditahan, kontroversi seputar status hukum apakah Ariel korban atau tersangka sejak awal terkesan absurd. Tak sedikit orang yang menilai Ariel hanyalah korban kejahatan penyebar video panas, tapi tak sedikit pula yang mengatakan sang bintang merupakan pelaku kejahatan yang layak dihukum. Ariel, Luna Maya dan Cut Tari, yang disebut-sebut membintangi rekaman video syur itu, sudah lebih dulu dihakimi sebagai porno, dianggap punya kelainan seksual oleh media massa dan dicap amoral dan meresahkan oleh sejumlah elemen masyarakat. Ariel sendiri memang kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi dengan tuduhan melanggar UU ITE, UU Pornografi dan pasal perzinahan. Namun demikian, pro dan kontra tidak lantas membuat orang berhenti mempergunjingkan Ariel, Luna dan Cut Tari. Sejak disebut-sebut menjadi bintang di video itu, Ariel lebih mirip ikon daripada korban ataupun pelaku perbuatan kriminal. Bagi kebanyakan orang, soal Ariel porno atau tidak, amoral atau tidak , bukanlah masalah. Yang lebih penting bagi mereka justru pengalaman langsung terlibat dalam kosmologi Ariel, yakni kesempatan untuk ikut memaknai video porno tadi. Karena memiliki otoritas memencet remote televisi dan punya akun untuk berkomentar di jejaring sosial, khalayak merasa berhak untuk ikut menentukan arah permainan bahasa, sebutlah Arielisme. Inilah tragedi di mana trending topic dengan jutaan unggahan online setiap hari atau opini dari ratusan media gosip mampu membentuk permainan bahasa yang tak seorangpun punya kuasa melawannya. Tragedi Ariel tak lain adalah pemaknaan peyoratif atas pornografi yang berakhir tragis. Tragedi Ariel adalah anak kandung kebudayaan pascamodern. Menyebut Ariel kini tidak bisa lagi hanya dimaknai sebagai seorang sosok rocker tampan dan kharismatik dengan jutaan penggemar. Sejak kemunculan dua video panas yang mirip dirinya, predikat ketokohan Ariel mengalami negasi. Terus-menerus berada dalam tegangan baik-buruk tanpa sistesa akhir. Setiap detik sosok vokalis band Peterpan itu setiap detik dibaca ulang dan direkonstruksi ke dalam kodifikasi tertentu. Dalam konstruksi yang penuh ketidaktentuan arah dan ketidakpastian nilai ini, Ariel, maupun Luna Maya dan Cut Tari, seolah memiliki kepribadian ganda yang saling bertabrakan satu sama lain: superstar yang yang superamoral. Meminjam Nietzche, inilah titik nol bagi Ariel. Oposisi biner tentang baik-buruk, moral-amoral, urusan pribadi-publik, atau korban-pelaku, yang awalnya merupakan nilai sosial yang jelas di masyarakat mendadak berhenti berfungsi. Titik dramatis dalam Tragedi Ariel berakhir dalam sebuah kondisi nihil tanpa panduan nilai dan makna. Nilai sosial yang lama memang masih ada, namun nilai dan maknanya sudah tidak dominan seperti sebelumnya. Demam Ariel tidak berarti bahwa masyarakat lantas amoral atau berada dalam kondisi anomie tanpa tatanan nilai sedikitpun. Yang sebetulnya berlangsung adalah sebuah kegairahan atas ekstase Arielisme. Tragedi Ariel pada dasarnya adalah sebuah sensasi luar biasa yang bagi banyak orang patut dirayakan karena menjanjikan multitafsir kekuasaan sekaligus kebenaran. Hebohnya kasus Ariel-Luna yang sebenarnya berlebihan itu menegaskan sebuah bentuk estetika kegembiraan sosial hadir dalam masyarakat. Masyarakat kita sedang membutuhkan 'mainan' baru sebagai obat rindu dari carut marut ekonomi, politik dan hukum di negeri ini. Pesan dari Tragedi Ariel sendiri tak lagi penting. Yang masyarakat cari kini bukan kebenaran apakah Ariel pelaku di video itu atau bukan. Mereka juga tidak terlalu peduli apakah Luna dan Cut Tari nantinya bersalah atau tidak. Hingar bingar tragedi porno ini menegaskan bahwa sensasi jauh lebih menjual daripada sekedar persoalan pokoknya. Orang lebih ramai mengobrol kemungkinan adanya video porno Ariel yang lain daripada berdebat soal hukum dan dampak sosialnya. Dalam Tragedi Ariel, rasionalitas maupun kepastian nilai tidak lagi bermakna karena tergantikan oleh sebuah esktase permainan bahasa yang mengobral sensasi. Permainan bahasa menjanjikan sudut pandang jauh lebih beragam dan jangkauan yang tak terbatas. Spektrum pemaknaan ini awalnya sulit terakomodasi dalam oposisi biner pada tatanan lama. Baik buruknya perilaku Ariel di mata hukum dan aturan sosial tenggelam di bawah kontestasi status di Facebook atau Twitter. Inilah watak ekstase dunia pascamodern: segelintir orang mencetuskan isu, tapi semua orang gegap gempita merayakan sensasinya. Konsep fetisisme komoditas yang dipinjam Jean Baudrillard dari Karl Marx tepat untuk menggambarkankan bagaimana Tragedi Ariel bekerja sebagai sebuah perayaan atas ekstase dan fantasi di luar kendali Ariel, bahkan Luna dan Cut Tari sendiri. Dalam sistem pertandaan, Tragedi Ariel tidak berlangsung dalam fetisisme petanda, yakni diri Ariel. Sebaliknya, komodifikasi justru berlangsung lewat fetisisme penanda yang berada di luar diri Ariel. Sosok Ariel, Luna Maya dan Cut Tari praktis hanyalah obyek kodifikasi berbagai permainan bahasa. Ariel kini punya status baru. Dahulu unsur fetis seorang Ariel masih sepenuhnya milik Ariel. Tapi saat ini Ariel hanyalah komoditas yang tersebar di penjuru rumah, media dan jejaring sosial. Untuk Ariel, Luna dan Tari, selamat datang di dunia yang liar!

Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page