top of page

Membandingkan Cara Bangun Proyek di Singapura dan Jakarta

Membaca artikel ini menunjukkan adanya standar yang berbeda antara Singapuran dan Jakarta tentang bagaimana proyek properti seharusnya dibangun. Sekali waktu berkunjung ke Singapura dulu, saya juga mendapat kesan serupa. Galian bawah tanah begitu rapinya ditutupi dari kemungkinan jadi pemandangan yang tak nyaman atau membahayakan keselamatan.

Saya pikir ini bukan soal kemampuan atau teknologi. Ini soal cara pandang, cara berpikir. Cara pandang terhadap disiplin, taat aturan dan pengawasan. Juga cara pandang pengampu kebijakan yang di sini banyak bersikap 'luweh-luweh' atau asal yang penting tak dikomplain.

Maka tengoklah sekitar Terminal Kampung Melayu di Jakarta Timur. Dari jaman Gubernur Sutiyoso sampai Ahok, tetaplah semrawut. Pejalan kaki, pedagang, kopaja dan angkot ngetem seenaknya. Campur dengan busway yang kehabisan ruang serta mobil pribadi plus motor yang lalu lalang. Yang bikin miris, sampai kini tak ada pembangunan infrastruktur yang memadai. Mengapa tidak dibikin model Terminal Blok M yang tempatkan pejalan kaki di bawah tanah di bawah terminal?

Kita perlu perbaikan riil. Bukan tambal sulam. Kemana pejabat kita? (JS)

Disiplinnya Singapura, Tak Ada Proyek yang Dikerjakan Serampangan

Sabtu, 9 Mei 2015 | 14:14 WIB

1353349singapura22780x390.jpg

Jalur pedestrian yang disiapkan pemerintah Singapura selama pengembangan proyek infrastruktur Line 3 Jalan Besar Stasion. Gambar diambil, Jumat (8/5/2015).

SINGAPURA, KOMPAS.com - Jakarta boleh saja mengungguli Singapura dalam penyelesaian pembangunan pencakar langit dengan ketinggian di atas 200 meter selama 2014. Namun, bagaimana proses pencakar langit tersebut dibangun, dan bagaimana manajemen proyek yang baik, Singapura masih di atas Jakarta. Kota ini bisa menjadi acuan bagi Jakarta bagaimana sebuah gedung tinggi, atau proyek lainnya secara umum, termasuk infrastruktur, dibangun tanpa menimbulkan potensi gejolak sosial, ekonomi, dan terganggunya aktivitas warga kota. Hal itu terlihat dari pengembangan apartemen Highline Residences yang dibangun salah satu raksasa properti Singapura yakni Keppel Land. Hunian vertikal yang berlokasi di kawasan Tiong Bahru, ini dibangun dengan rapi. Situs proyek dipagari seng bercat putih bersih. Di sekitar area, tertutup rapat, tak ada sejengkal pun lahan terbuka dengan tanah berceceran memenuhi jalan di sekitarnya. Truk pengangkut material bangunan, dan alat berat, diparkir di tempat yang telah disediakan. Sebelum kendaraan besar ini ulang alik dari dan menuju situs proyek, harus dalam keadaan bersih.

1356148singapura5780x390.jpg

HBA/KOMPAS.comProyek infrastruktur Line 3 Jalan Besar Stasion dikelola dengan rapi, termasuk menutupnya dengan hoarding yang berisikan informasi proyek. Gambar diambil pada Jumat (8/5/2015).

Demikian halnya proyek properti multifungsi Farrer Square di jantung kawasan Little India, atau sekitar Stasiun MRT Farrer Park. Situs proyek dipagari secara rapi, dan glamor dengan hoarding bertema properti yang ditawarkan. Serupa dengan Highline Residences, Farrer Square pun rapi jali, dan resik.Begitu pula dengan pengembangan proyek untuk fasilitas sosial, umum, maupun rumah ibadah. Mesjid Sultan yang berada di Kampong Glam, dan sedang direnovasi juga dikerjakan secara rapi. Sehingga para wisatawan yang berkunjung tidak merasa terganggu dengan aktivitas renovasi.Bagaimana dengan proyek infrastruktur yang dikerjakan pemerintah? Jalur 3 Jalan Besar Station dibangun dengan perencanaan yang matang. Sebelum realisasi pembangunan pemerintah kota Singapura melakukan simulasi arus lalu lintas secara digital.

Sehingga diketahui ruas-ruas mana yang potensial mengalami penumpukan kendaraan, bagaimana dengan para pejalan kaki, dan pelimpahan arus lalu lintas, dan sebagainya. Semua dilakukan dengan pertimbangan matang.Pejalan kaki terhindar dari debu proyek karena sudah disediakan sebelumnya jalur pedestrian di sepanjang proyek jalur infrastruktur baru ini. Bahkan, di beberapa ruas, dipagari secara permanen dengan besi bercat hijau.

1400185singapura52780x390.jpg

HBA/KOMPAS.comRenovasi Masjid Sultan di Kampong Glam, dikerjakan tak kalah rapi, dengan manajemen proyek mumpuni. Gambar diambil Kamis, (7/5/2015).

Bagaimana dengan Jakarta? Kita bisa melihat, betapa jorok dan kotornya area di sekitar lokasi atau situs proyek, baik proyek yang dikembangkan swasta maupun pemerintah. Tengok saja di Jl Gatot Subroto, tengah dibangun properti multifungsi mewah The St Regis dan perkantoran Capital Place. Adukan semen bertebaran di jalan sekitar proyek.Bergeser sedikit ke arah perempatan Kuningan, tengah dikerjakan proyek infrastruktur jalan layang (fly over) Gatot Subroto sisi selatan.Karena tidak direncanakan dengan matang, proyek ini membuat area perempatan Kuningan macet total. Halte bis Trans-Jakarta Kuningan Timur yang dikorbankan dan kemudian dibuat gantinya, tidak didesain menyamankan penggunanya.

Demikian halnya dengan jalur pengganti untuk kendaraan non-bus Trans-Jakarta, juga tidak dibangun secara memadai.Nasib pedestrian yang akan melintasi area ini pun terpaksa harus berebut jalan dengan pengguna kendaraan bermotor. Alih-alih nyaman jalan kaki, malah kena debu proyek, dan "diteriaki" klakson motor, dan mobil.

Padahal, simulasi arus lalu lintas melalui layar komputer, bisa dilakukan jauh sebelum realisasi pembangunan proyek. Namun, menurut urbanis Indonesia, Bambang Eryudhawan, pendekatan itu tidak dipakai. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru abai."Jika pendekatan simulasi ini terus menerus digunakan untuk berbagai proyek apa pun, dapat dicek kemungkinan-kemungkinan untuk mengatur jadwal jalur yang satu dengan yang lain agar lalu lintas terkendali," ujar Yudha, sapaan akrab Bambang Eryudhawan kepada Kompas.com, Kamis (7/5/2015).Yudha menambahkan, Jakarta lemah dalam manajemen proyek. Semua proyek diburu waktu, berlomba lomba untuk selesai demi penyerapan anggaran. Sementara di sisi lain semua pendekatan sosial, ekonomi, lingkungan, dan lain-lain diabaikan.

Untuk kasus pembangunan jalan layang Gatot Subroto, sebetulnya Pemprov DKI Jakarta bisa meminjam jalur Garis Sempadan Bangunan (GSB) di koridor ini untuk sementara. Namun, itu dilakukan setengah hati. Alhasil, setiap jam-jam sibuk, koridor ini mengalami kemacetan luar biasa."Di satu sisi bagus sebagai terapi para pengguna kendaraan pribadi agar kapok "mengaspal" di koridor Gatot Subroto. Ini pembelajaran buat pengguna kendaraan pribadi. Di sisi lain, merugikan para pedestrian, karena jalurnya diserobot tanpa ada pengganti. Ibarat pedang bermata dua," kata Yudha.Dicabut

Sementara di Singapura, menurut pengawas proyek renovasi Masjid Sultan, Kampong Glam, Ahmad Bakaram, Singapura memang menerapkan aturan ketat pelaksanaan pembangunan proyek. Baik yang dilakukan swasta, maupun pemerintah. Jika kedapatan aktivitas proyek mengganggu pejalan kaki, lingkungan sekitar, dan menimbulkan polusi, terutama debu, dan ceceran material lainnya, maka pengembang dan kontraktor akan dikenai sanksi maksimal."Sanksi maksimal bisa dikenakan yakni izin praktik jasa konstruksi bisa dicabut. Oleh karenanya, kami harus disiplin, dan taat peraturan. Bahkan untuk mengecat ulang pun, tak boleh ada cat berceceran," tutup Bakaram, Jumat (8/5/2015).

Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page