Pasar Johar dan Thomas Karsten
Pasar Johar terbakar Sabtu malam (9/5/2015). Terbakar atau sengaja dibakar?
Sekali lagi, peninggalan cagar budaya yang sangat berharga sirna. Sabtu malam lalu (9/5/2015), Pasar Johar yang merupakan salah satu ikon Kota Semarang terbakar hebat. Nilai historisnya melebihi pasar manapun di tanah air. Pasar Johar pernah menyandang predikat sebagai pasar terbesar di Asia sejak dibangun tahun 1937. Saat awal dirancang, ide dasar Pasar Johar memang menyatukan lima pasar di sekitar Semarang menjadi sebuah pasar sentral.
Pasar Johar dirancang tanpa pendingin udara dan maksimal pencahayaan alami.
Pasar Johar terbilang unik. Atapnya berbentuk kolom-kolom mirip cendawan sehingga memungkinkan udara masuk dari segala penjuru. Kolom cendawannya sama persis dengan yang ada di Pasar Cinde, Palembang. Bukan kebetulan, arsitek Pasar Johar maupun Pasar Cinde memang sama: Herman Thomas Karsten (1884-1945).
Thomas Karsten memahami dengan sangat baik arsitektur yang cocok untuk iklim tropis. Ia menerapkan sistem ventilasi silang untuk menghasilkan udara segar sekalipun tanpa mesin penyejuk udara. Sistem ventilasi ini sama persis ventilasi di Gedung Lawang Sewu yang juga ia tangani.
Selain ventilasi silang yang alami, ciri arsitektur Karsten yang lain adalah penggunaan pencahayaan alam secara maksimal dalam ruangan. Ia tak serta merta mencangkokkan arsitektur Eropa, namun memadukan baik unsur lokal maupun unsur Barat ke dalam rancangannya. Tanpa penyejuk udara dan lampu, artinya Karsten juga peduli dengan penghematan energi yang bukan urusan gampang untuk jaman itu.
Sama penting dengan aspek ekologis dan fungsional, Karsten juga sangat memperhatikan aspek sosiologis masyarakat Jawa. Baginya, pasar tak hanya tempat transaksi semata tapi juga bertugas memenuhi fungsi sosial masyarakat. Maka dari itu, Pasar Johar juga dirancang untuk menampung pedagang pasar tiban yang hanya berjualan pada waktu-waktu (hari pasaran) tertentu.
Los Pasar Johar setinggi lutut dan lantai 1-2.
Perilaku pedagang Jawa tak luput dari pangamatan Karsten. Karsten membuat los pasar setinggi lutut orang dewasa agar meringankan beban kaum hawa dan buruh gendong saat mengangkat maupun menurunkan beban barang.
Tak bisa dipungkiri, jejak Herman Thomas Karsten terukir di banyak peninggalan bersejarah di negeri ini. Tak hanya Pasar Johar, di Semarang Karsten juga mengarsiteki penataan kawasan Candi, Pasar Jatingaleh, Pasar Randusari, kantor kereta api yang kini dipakai PT KAI Daop IV, Rumah Sakit Elizabeth dan Taman Diponegoro.
Karsten pernah menjadi penasehat perencanaan dan karyanya tersebar di banyak kota di Indonesia. Di Yogyakarta ia merancang Museum Sono Budoyo dan di Surakarta ia merancang Pasar Gede, Stasiun Solo Balapan, kawasan permukiman Banjarsari dan sebagian Pura Mangkunegaran.
Di Jakarta ia membenahi Lapangan Monas (1937). Ia menata Kawasan Jalan Ijen di Malang, penataan kawasan Candi di Semarang, proyek Pasar Sentral dan Ilir di Palembang dan Balai Kota Padang. Bahkan karena trenyuh dengan permukiman orang Jawa yang kurang higienis, Karsten membuat percontohan perumahan murah di Magelang (1937) yang jejaknya masih ada hingga kini.
Karsten adalah seorang kelahiran Amsterdam berayahkan orang Belanda dan beribukan seorang kelahiran Jawa Tengah. Identitas sosialnya sebagai sebagian Belanda dan sebagian Jawa, serta pemikirannya yang progresif di bangku kuliah kemudian, membuatnya dekat secara spiritual dengan Jawa. Sebagai seorang Belanda, Karsten adalah anak kandung politik etis yang saat itu mewabah di Belanda dan merasa memiliki tugas membalas budi pada masyarakat yang dijajah oleh bangsanya.
Politik etis Karsten berasal dari latar belakang keluarganya yang terpelajar. Ayahnya seorang pengajar filsafat dan seorang pembantu rektor. Tak mengherankan, Karsten kemudian mengenal banyak gagasan progresif. Apalagi setelah lulus dari Technische Hogeschool di Delft, ia bergabung dengan kelompok professional muda progresif bernama Sociaal Technische Vereeneging.
Karsten, istri dan 3 dari 4 anaknya.
Sewaktu tinggal di Belanda, ia telah terlibat dalam proyek pembangunan rumah rakyat di Amsterdam pada tahun 1904. Amsterdam saat itu adalah kota industri yang mulai dibayangi oleh kesenjangan sosial, ekonomi, dan etnis di antara warganya.
Pada tahun 1914, Karsten datang ke Semarang atas undangan Henri Maclaine-Pont, temannya semasa kuliah di Delft. Untuk jaman itu, Semarang terbilang kota yang sangat bergairah dalam pemikiran social politik maupun kehidupan sosial ekonomi warganya. Di kota inilah Karsten kemudian banyak merealisasikan gagasan-gagasan idealis mengenai permukiman warga dan perencanaan kota.
Karir Karsten sebagai arsitek dan konsultan di banyak kota membuatnya diangkat sebagai anggota komisi reformasi perkotaan pada 1930. Namun, usulan pengangkatannya sebagai professor di ITB ditolak karena Karsten dianggap terlalu radikal dan terlalu kritis.
Karsten banyak berhubungan dengan para intelektual Indonesia, antara lain Pangeran Mangkunegoro VII, Raja Mangkunegaran di Surakarta. Keduanya saling menghormati dan disatukan oleh kepedulian pada kebudayaan Jawa. Karsten melihat sosok Mangkunegoro VII sebagai model priyayi Jawa modern.
Karsten tak bisa dipisahkan dari Indonesia. Pada 1921, ia kawin dengan Soembinah, seorang perempuan pribumi. Soembinah adalah cucu Heinrich Wieland, mantan tentara Swiss yang menetap di Wonosobo dan menikah dengan seorang perempuan Jawa. Tidak seperti waktu sebelumnya, pada waktu itu sudah jarang ada orang Belanda kawin dengan pribumi. Ini tak berlaku dengan Karsten.
Seperti aktivis politik etis lainnya, Karsten memang menaruh perhatian besar terhadap negeri yang dijajah bangsanya. Sekalipun sehari-hari bergaya hidup Eropa, namun selalu ada jadwal rutin memainkan seperangkat gamelan di rumah. Bahkan pada hari-hari tertentu, keluarga Karsten mengadakan slametan seperti tradisi keluarga Jawa. di rumah mereka terdapat seperangkat gamelan yang rutin dimainkan.
Dalam catatan terakhir pada 21 April 1945 di kamp interniran Jepang di Cimahi, Karsten yang sakit meminta sesama tahanan menuliskan: “Indonesia bermoelialah, Indonesia bersatoelah ….”.
Jalan tengah Karsten, tentang idenya memadukan Barat dan Timur, seperti umumnya pandangan politik etis, rupanya tak mendapat tempat baik di kalangan nasionalis radikal yang menginginkan Indonesia merdeka seutuhnya dan pemerintah kolonialis yang masih berkuasa sebelum Perang Dunia II. Karsten percaya kemerdekaan Indonesia tak perlu dicapai dengan revolusi, tapi dengan emansipasi rakyat melalui pendidikan. Pandangan yang umum dijumpai pada aktivis yang meyakini Sosialisme dan sejenisnya, namun kalah popular dengan gerakan nasionalisme yang mulai mewabah di Asia.
Tampaknya pandangan Karsten ini yang membuatnya kehilangan jejak dalam sejarah Indonesia Modern dan nyaris hanya terbaca di dalam silabus arsitektur. Padahal sumbangsih Karsten lebih dari itu. Sumbangsih yang ia bawa mati di kamp interniran Jepang di Cimahi tahun 1945.
http://archipeddy.com/histo/psrjohar.htmlhttps://sejarahsemarang.wordpress.com/zaman-belanda/ir-herman-thomas-karsten/http://gulalives.com/2015/05/10/pasar-johar-terbakar-akhiri-cerita-manis-predikat-terbesar-dan-tercantik-di-jateng/http://www.visitsemarang.com/artikel/pasar-johar-habitat-para-saudagar