Pepeng, Budiman dan Kwatrin Sapardi Djoko Damono
JS: Saya kopikan utuh tulisan Mas Budiman Hakim dari blognya di Kompasiana.
Tulisan yang sangat menyentuh mengenai pertemanannya dengan Pepeng dan puisi indah dari Sapardi Djoko Damono
EMPAT KWATRIN UNTUK PEPENG
Hidup kita ini, kata Pak Kiai
Adalah sekeping uang logam Satu keeping tapi dua sisi Selal serasi, tak salah paham Nasib kita ini, kata Pendeta Susul-menyusul siang dan malam Dua-duanya disaput rahasia Kadang terbuka, kadang terpendam Takdir kita ini, kata Pak Guru Memang tak mudah dipantau Kadang pasti seperti dipaku Kadang bagai angin mendesau Ingat selalu perangai air, kata Penyair Meskipun begini, tetap saja begitu Dari hulu mengalir ke hilir Berkelok terjun, menuju Yang Satu
Puisi Sapardi Djoko Damono untuk Pepeng
Oleh: Budiman Hakim Pukul 1 lewat tengah malam. HP saya bergetar. Ternyata ada pesan melalui WhatsApp dari Pepeng. Saya pelan-pelan mulai membaca, "Jek, udah tidur lo?" Pepeng dan saya memang sering saling memanggil dengan sebutan 'Jek'. Setahun sebelum meninggal dunia, Pepeng dan saya sering berhubungan lewat WA dan biasanya memang selalu tengah malam. Kenapa tengah malam? Karena kami berdua sama-sama mengidap insomnia. Insomnia Pepeng bahkan semakin menjadi-jadi ketika penyakit multiple schlerosisnya mulai menyerang. Kasian banget! Pepeng boleh dibilang hampir 24 jam merasa kesakitan terus. "Belum Jek. Biasanya jam 3 baru ngantuknya dateng." Saya membalas pesan WA-nya. "Gini Jek. Gue mau bikin buku tentang gue, tapi yang nulis orang lain. Lo mau ga nyumbang tulisan buat buku itu?" "Wah mau banget! Siapa aja yang nulis?" "Temen-temen semua. Ada Andy F Noya, ada Sys NS, Yayuk Pribadi, Reda Gaudiamo, Shahnaz Haque, Ikang Fawzi. Pokoknya yang mau aja." "Wuiih keren! Tapi boleh ga gue kasih usul?" "Boleh dong. Gimana Jek?" "Sebaiknya lo ajak Pak Sapardi Djoko Damono untuk nulis juga." Sapardi Djoko Damono adalah dosen UI sekaligus penyair kondang di negeri ini. Saya merasa akan banyak keuntungan apabila Sapardi juga menyumbang tulisan di bukunya Pepeng. Minta Sapardi menulis pasti sama sekali ga susah, karena dia orangnya baik banget. Apalagi salah seorang penulis buku itu adalah Reda yang juga adalah sahabat dari isterinya Sapardi. "Oh Reda udah minta Sapardi buat nulis. Tapi Reda menghubungi isterinya bukan Pak Sapardinya." "Terus apa kata Sapardi?" "Belum ada jawaban Jek. Sibuk kali dia." "Okay kalo gitu gue coba kontak Sapardi langsung ya? Gue lumayan sering WA-an juga sama dia." "Wah alhamdulillah banget kalo lo mau bantu. Thanks Jek."
Sumber: dok. Budiman Hakim
Minimal seminggu sekali, kami WA-an lagi. Pembicaraan biasanya tentang bukunya yang akan segera diterbitkan. Pepeng ternyata sangat excited terhadap jabang bukunya itu. Maklum kan buku pertama. Dia banyak bertanya tentang pengalaman saya bikin buku bersama penerbit dan menulis buku indie, alias tanpa penerbit. Dia terus membandingkan untung ruginya, apakah mau menerbitkan buku sendiri atau melalui Gramedia.
"Jek, ada kabar gembira?" Suatu malam dia ngeWA saya lagi."Kabar gembira apa Jek?" "Gramedia udah OK mau nerbitin buku gue." "Wuiiih keren! Selamat...selamat!" "Thank you Jek." "Btw gue juga punya kabar baik buat lo Jek." sahut saya ga mau kalah."Apa Jek? Alhamdulillah nih banyak kabar gembira." "Sapardi udah OK nulis buat buku lo."
Lalu saya copy paste percakapan chatting di WA saya dengan Sapardi dan saya forward ke Pepeng."Alhamdulillah. Lo baek banget sama gue. Thanks banget Jek.""Halah! Baek apanya? Cuma ngomong doang ke Sapardi kok baek."Ga sampe seminggu, Pepeng udah WA saya lagi. Ternyata isinya sebuah puisi yang dikirimkan Sapardi Djoko Damono ke Pepeng untuk bukunya.
"Jek! Ini tulisan Sapardi Djoko Damono. Bagus banget ya? Gimana menurut lo?"Saya scroll down message dari Pepeng dan mulai membaca. Judul puisinya Empat Kwatrin Buat Pepeng. Subhanallah... bukan main indahnya puisi untuk Pepeng ini."Bagus banget Peng. Gue merinding bacanya." sahut saya. Sapardi memang tokoh idola saya. Beliau adalah seorang Begawan kata. Di tangannya, sebuah kata tanpa makna, ketika dia torehkan dalam tulisan tiba-tiba bisa menjelma menjadi sebuah mantra yang akan membius pembacanya.
Sumber: dok. Budiman Hakim
"Gue juga campur aduk bacanya." jawab Pepeng.
"Tulisan Sapardi ini akan sangat mengangkat kualitas buku lo Peng.""Inya Allah. Oh iya, barusan gue depet telepon dari Djarum Foundation. Mereka bersedia mensponsori peluncuran bukunya. AllahuAkbar walillahilham. Speechless....""Widiiii...keren!. Gue doain buku lo sukses Jek. Gue ikut seneng dengernya." kata saya.
Entah berapa lama kemudian, Pepeng ga pernah ngeWA saya lagi. Ga tau kenapa. Gapapalah, mungkin dia sibuk kali. Saya sendiri lagi menghabiskan malam di komputer untuk membuat buku ketujuh saya.
Tiba-tiba, suatu malam WA Pepeng dateng lagi, "Udah tidur Jek?""Belum. Lo apa kabar kok tiba-tiba ngilang?""Gue drop Jek. Masuk rumah sakit seminggu. Ini baru ke luar dan ga bisa tidur.""Masih kesakitan ya?""Masih. Gue ga bisa tidur, sekujur badan gue kumat nyerinya.""Waduh! Sakit yang kayak biasa kan?""Beda. Sekarang makin aneh sakitnya. Apalagi gue ada luka di dubur. Nyerinya nyeresep ke sumsum."
"Waduh!" Keprihatinan yang amat sangat membuat saya ga tau harus membalas apa."Ginjal gue juga udah kena. Dan menurut dokter itu penyumbang nyeri yang hebat juga.""Masya Allah...""Fungsi ginjal gue tinggal 30%, kata dokter.""Astaghfirullah...""Jantung gue juga fungsinya tinggal 30%. Kalo udah sesek, ampoooon deh, mendingan makan di warung Pak Wir Hehehehe...."
Pak Wir adalah warung di kampus tempat kami biasa nongkrong pas masih kuliah dulu. Saya bingung mau bales apa . Tapi begitulah Pepeng. Dia dengan santai bercerita tentang penyakitnya tanpa minta dikasihani. Dia adalah seorang yang betul-betul tangguh dan menjadi inspirasi semua orang."Udah tidur Jek? Gimana kabar buku lo?"
Pada sebuah malam, saya coba menyapa dia duluan. Dan Alhamdulillah langsung dibales."Nah itu dia Jek. Gue ga punya waktu buat ngurusinnya, gue sering drop sekarang.""Gini deh. Kalo lo udah sehat, bikin meeting aja sama orang Gramedia, tapi lo ajak gue. Ntar kalo udah kenal, gue yang ngurus buku lo sampe selesai. Gimana?"Kali ini pesen saya ga dibales. Saya bingung, soalnya kalo lagi chatting sama Pepeng, dia ga pernah ilang. Dia selalu pamit ketika akan mengakhiri percakapan. Setelah menunggu lebih dari 15 menit, akhirnya Pepeng ngebales juga.
Sumber: dok. pri
"Sorry Jek. Gue abis muntah tadi. Lo udah tidur?" "Belum. Sakit lo makin parah ya Jek?" "Ya gitu deh. Sakitnya sih ga masalah Jek. Yang bikin repot, penyakit ini udah menjalar sekarang..." "Menjalar ke mana?" tanya saya waswas. "Gara-gara penyakit ini gue kena penyempitan pembuluh dompet Jek. Sampe kering dompet gue HAHAHAHAHA..." Message WA terakhir dari Pepeng saya terima tanggal 27 April 2015. Sejak saat itu dia ga pernah WA saya lagi. Beberapa kali saya WA duluan, dia juga ga ngebales. Akhirnya saya ngeWA adiknya Pepeng yang bernama Pree. Saya dan Pree adalah temen sekampus di UI D3 jurusan bahasa Inggris. "Pree, bukunya Pepeng udah sampai di mana?" "Ga tau Bud. Dia drop terus jadi bukunya ga keurus." Pree langsung ngebales. "Lo aja yang urus Pree. Gue bantuin deh sebelum terlambat?" "Maksud lo sebelum terlambat apa?" "Yah namanya takdir, kita mana tau kan? Mendingan kita kelarin bukunya supaya dia gembira dan mendongkrak kesehatannya." "Gue ga mau ngomong soal terlambat. Pokoknya gue doain aja yang terbaik buat dia." kata Pree, keliatannya dia kurang nyaman sama omongan saya. "Oh sorry Pree. Iya gue juga selalu mendoakan yang terbaik buat Pepeng." Hari Rabu 6 Mei 2015, pukul 10.30, Pree memposting berita di group WA kami. "Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Mau ngabarin, Pepeng tadi udah gak ada sekitar jam 10.04. Dari tadi malem jam 2 masuk ICU." Habis membaca WA-nya Pree, saya langsung lemes. entah karena alasan apa, saya mencoba mencari puisi Sapardi Djoko Damono yang untuk Pepeng. Dengan mata berurai air mata, saya membaca puisi itu dengan suara perlahan.
Musikalisasi 4 Kwatrin untuk Pepeng