Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
(hujan bulan juni, sapardi djoko damono)
Lagi jemput Neva, hujan di parkiran
Persis di tanggal pertama Bulan ini, tanggal 1 Juni 2015, pas banget dengan hari kejepit nasional. Hari santai setelah Sabtu kemarin syuting sampai malam. Pas banget pula hari-hari yang panas di Jakarta, dan juga global, sedikit banyak terbayar oleh ademnya hujan sebentar. Meneduhkan. Pas banget, menjawab kerinduan tentang bait puisinya Sapardi Djoko Damono.
Sapardi Djoko Damono adalah salah satu legenda sastra Indonesia. Living legend, selain yang lain-lain tentunya. Puisinya yang lain, "Aku Ingin", juga mengharubiru pembacanya. Tapi sastra itu membebaskan. Persis seperti penjelasan Sapardi dalam sebuah wawancara yang pernah saya baca. Baginya, makna sebuah karya sastra bukan yang terpenting. Yang lebih penting, pembaca bisa menikmatinya, katanya. Cukup enak dirasa, enak didengar, silakan maknai sendiri.
Dan tentu saya pemaknaan seperti ini seperti menegaskan kembali tentang matinya sang pengarang. Konteks mungkin perlu dilihat tapi tak penting lagi. Susastra jadinya lebih kontektual dan relevan kalau dibaca dalam pemahaman pembaca, dan tak semata-mata mata sang pengarang. Ini yang tadi saya maksud 'membebaskan'.