Sejarah & Kuasa
- JS
- Jun 10, 2015
- 2 min read

Sejarah penguasa. Kita kerap mendengar ungkapan ini terutama sejak sejarah dibebaskan dari kontrol rezim Orde Baru satu setengah dekade silam. Sejarah memang selalu milik para pemenang. Mereka menuliskan sejarah versinya supaya setiap orang mengingatnya sebagai sebuah monumen yang patut dikenang. Jauh di bawah kesadaran, monumen sejarah tak cuma mengungkap kenangan. Ia adalah monumen yang sifatnya kursif, dengan penekanan sebagai sebuah peringatan.
Maka kita disodori banyak sekali sejarah yang berisi doktrin dan peringatan yang kursif tadi. Seringkali menindas. Mediumnya banyak: dari buku, film, tugu peringatan bahkan status seseorang. Semua medium tadi otomatis tak bebas nilai karena ada maksud politiknya.
Coba tengok. Soekarno membangun begitu banyak tugu/monumen megah di saat rakyatnya banyak yang jatuh miskin di tahun 1950-60an. Soeharto memiliki intepretasi sendiri atas peristiwa G30S yang melambungkan dirinya ke kursi kekuasaan. Maka sejak itu muncul banyak film perjuangan yang mengetengahkan lakon Pak Harto dari Janur Kuning sampai G30S/PKI. Sejarah lewat film, kurikulum dan buku melanggengkan kekuasaan empunya. Gerwani digambarkan bengis lewat film karena kejam sampai memotong-motong kelamin para jendral (padahal berdasarkan hasil forensik tidak terbukti ada penyiksaaan congkel mata dan kelamin). Akibatnya, ada proses mega dramatisasi yang membuat publik untuk sekian generasi sangat anti-PKI. Masalahnya, sejarah yang sudah dilebih-lebihkan ini dipakai untuk melanggengkan kekuasaan.
Mudah dipahami kini di rak-rak toko buku, pejabat A atau mantan pejabat B, atau mereka yang merasa memiliki uang dan kuasa, mulai membuat biografi mereka sendiri. Sebagian besar isinya sekedar puja-puji yang tak terlalu punya nilai sejarah. Isinya sengaja dipilih yang baik-baik saja, sedangkan yang gelap diamputasi. Itu kalau tokohnya pun menarik. Seringkali ceritanya juga tak menarik sama sekali alias tak cocok untuk jadi sebuah biografi. Money talks, anda bisa meminta orang untuk membuatkan biografi anda, siapapun anda, kalau anda punya uang.
Saya pernah mendengar ada orang yang sanggup membuat biografi dengan bayaran tertentu. Atau ada sejarawan yang dituduh oleh sejarawan yang lain menjadi mafia untuk menggolkan status kepahlawanan. Tak usah disebut, tapi praktek semacam itu ada.
Motifnya sudah: ada motif kuasa di balik teks semacam biografi. Ingin dikenang sebagai yang paling berjasa atau ingin pamer kuasa. Tentu kalau orang yang sudah meninggal bisa dimengerti kalau tokoh yang bersangkutan tidak punya lagi motif karena sudah meninggal. Nah, trend belakangan justru sejarah dibuat oleh mereka yang masih hidup. Tentu ada maunya. Entah motif ekonomis atau politis. Atau memang karena duit bukan lagi yang mereka cari.
Lalu bagaimana sejarah bekerja sebagai mesin kuasa? Sejarah menyimpan banyak peristiwa. Oleh para pemenang atau penguasa, sejarah bisa mereka belokkan, peran orang lain dikurangi, peran sendiri dilebih-lebihkan, membuat intepretasi yang menguntungkan penguasa, atau mengakuisisi prestasi orang lain menjadi seolah prestasi dirinya sendiri. Sadis memang. Tapi itulah watak kuasa, korup kemana-mana. Maka kita sering mendengar, ada orang yang terbuang atau sengaja dibuang perannya.
Lalu, apa yang kita sikapi dengan sejarah penguasa ini? Don't believe what you read, don't believe what you see. Don't take anything for granted. Ada baiknya kita membaca narasi-narasi kecil sebagai pembanding terhadap narasi besar yang dominan. Sebab narasi besar yang dominan pada hakikatnya adalah sebuah teks sejarah yang berupaya memonopoli kebenaran.
Comments