Bisnis Bebek yang Menjanjikan
Sepekan ini saya berkesempatan mendalami bisnis hulu dan hilir dunia perbebekan yang pangsa pasarnya menjanjikan. Bukan kebetulan, Food Story mengangkat topik ini karena bisa bercerita mengenai usaha para pemilik restoran dan peternak bebek.
Profil pengusaha resto bebek yang kami angkat adalah Bebek Royal, yang pemiliknya mantan boss saya di Metro TV dulu, Makroen Sanjaya. Cak Makroen menjalankan bisnis bebek goreng sejak 2006 dan telah memiliki sekitar 6 outlet di mall, warung maupun versi mobile. Ia juga menjualnya dalam bentuk franchise. Untuk ukuran seorang jurnalis, kita harus takjub dengan usahanya. Tak gampang bekerja sebagai Wapemred Metro TV (waktu itu, kini Pemred RTV), sambil berbisnis kuliner.
Saya dan Cak Makroen
Tapi ia bisa dan berhasil. Dibantu sang istri, Audrey, Cak Makroen mulai menyusun konsep dari awal, mencoba rasa dan eksperimen, hingga mengembangkan outlet yang mempekerjakan total 37 karyawan. Insting bisnisnya tajam. Ia pula yang menasehati kami jurnalis yang lebih muda, agar segera merintis usaha. Alasannya sederhana, kesejahteraan wartawan tak menjamin hari tua setelah kita tidak lagi berkarya.
Lain kesempatan, Food Story menuju Gunung Sindur di kawasan perbatasan Tangerang-Bogor. Kami menemui pedagang bebek potong Mas Budi dan peternaknya Kang Ijul. Dari mereka, saya menambah banyak pengetahuan berharga seputar hulu bisnis bebek. Bayangkan, untuk seekor bebek ukuran sekitar 1 kg seharga Rp 35-40 ribu/ekor di tangan pengelola restoran akan dipotong jadi 4 bagian utama seharga Rp15-25 ribu per potong. Menjanjikan bukan?
Peternakan bebek di Gunung Sindur, Tangerang
Bebek ukuran sekitar 1 kg ini cukup dipanen pada usia ke-30 hari sejak penetasan. Fase panen yang cepat tentu menjanjikan perputaran modal dan keuntungan yang cepat pula. Sementara, menurut Mas Budi, ia selalu kewalahan memenuhi permintaan bebek potong dari banyak resto di Jabodetabek. Dengan sebulan panen, 500 ekor bebek akan menghasilkan keuntungan bersih sekitar Rp 2,5 juta rupiah. Wah....