top of page

Karnaval Politik


politics-word-cloud (1).jpg

Lucu sekali dunia politik kita. Beberapa waktu lalu, ada public figure yang termasuk selebritas di layar kaca tiba-tiba woro-woro kalau dirinya terpanggil untuk menjadi seorang politisi. Mendadak politisi, sampai kabar itu diposting oleh sebagian kanal berita. Dia bergabung dengan rekannya yang konon juga sudah jadi politisi. Partainya apa tak jelas. Mungkin tak penting.

Motif ingin jadi politisi dengan cara dadakan dan boleh jadi instan, begitu absurd. Politik bagi mereka seolah cuma makeup. Ada jurang lebar antara das sein dan das sollen, antara yang riil dan yang seharusnya tentang bagaimana kita harus bersikap. Bisa jadi bagi mereka yang berhasrat ingin jadi politisi dadakan, politik cuma sebuah panggung antah berantah yang menjanjikan akses sosial dan politik. Dengan deklarasi yang menurutnya penting itu, mungkin ia merasa telah berhasil bersalin rupa menjadi politisi dan siap menjadi jembatan antara kontituen dan negara.

Politik idealnya dibangun di atas moral dan kesadaran, bukan sandaran perkoncoan atau semata kemegahan sebuah kursi kekuasaan. Dus, politik adalah politisi yang bervisi kesadaran tentang bermasyarakat dan bernegara. Politik dan politisinya harus sadar bahwa mereka mengemban misi sebagai pemegang otoritas yang mengatasi segala kepentingan. Ketidaksadaran atas pandangan Hobbesian (bahwa negara hadir untuk mengatasi anarki antar kelompok) hanya akan membenamkan manusia merdeka kembali ke dasar chaos, di mana ketidakadilan dan homo homini lupus akan berulang.

Kalau benar motifnya ketenaran, mungkin wajar, tapi makin absurd. Ia niscaya akan akan tenggelam dengan sendirinya seandainya panggung kekuasaan cuma dianggap sebagai eskalator sosial-politik, sebuah jalan ringkas naik kelas. Mabuk popularitas, merasa sudah popular sehingga merasa berhak menjadi politisi, sangat memabukkan. Di tangan mereka ini bukan terletak harapan, sebaliknya justru terhampar kekuasaaan yang bertendensi korup.

Kalau motifnya merebut kursi kekuasaan pun, mereka terlalu ingusan untuk menghadapi politisi yang jauh lebih senior dan kurang kompeten untuk bekerja seandainya terpilih. Kalau politik masih elitis, dan mereka gagal membangun relasi dengan konstituen, amanah tentu bakal hanya jadi pepesan kosong belaka. Mereka tak akan pernah jadi pemimpin yang membumi karena pikiran dan tindakannya hanya terkonstruksi di lingkungan elitnya.

OK-lah kita berasumsi motifnya baik: ingin menjadi politisi yang punya fungsi trias politika. Pertanyaannya, kompetensi. Belum tentu dia paham apa itu politik dan amanahnya. Akses mungkin ada, tapi miskin pemahaman bahwa politik adalah sebuah mekanisme who gets what, how and when, hanya akan memiskinkan politik kita.

Politik tidak ujug-ujug. Politik yang matang dibangun oleh orang yang memiliki kemampuan dan moral politik yang baik. Mereka hanya akan jadi politisi lemah dalam bersikap. Inilah karnaval politik, jaman ketika badut-badut muncul ke dalam pentas utama dan akan cepat tenggelam pada waktunya.

Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page